Filsafat

BAB I
Masyarakat Madani
   Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian.
         Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.Masyarakat Sipil Vs  Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan “militer “ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
        Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai “backing” untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya.
      Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
     Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
        Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
         Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
        Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru.
       Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya  partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena,
 (a) demokratisasi,
(b) partisipasi sosial, dan
(c) supremasi hukum; dalam masyarakat.
   Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan  public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu. 
      Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa.
       Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.













BAB II
Pendidikan Kewarganegaraan, Maksud Dan Tujuan, Landasan Hukum, Ruang Lingkup
Pengertian
2  Pendidikan kewarganegaraan adalah suatu pola pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan para mahasiswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran/atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang
2  Pendidikan kewarganegaraan lebih menitikberatkan kepada kemampuan penalaran ilmiah yang bersifat konigtif dan afektif tentang bela negara  dalam rangka ketahanan nasional.
2  Pendidikan kewarganegaraan dilakukan secara kritis, analitis melalui dialog ionteraktif dan bersifat partisipatoris agar tumbuh kesadaran berbangsa dan bernegara secara rasional dan untuk meyakini kebenaran serta ketepatan konsepsi bela negara dalam aplikasi pandangan hidup bangsa.
1.3.Landasan Hukum
Landasan Ideal :  Pancasila
Landasan Konstitusional : UUD 1945
Landasan Operasional :
a  UU N0. 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia :
Pasal 18 Hak dan Kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya belanegara diselenggarakan melalui pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
Pasal 19 ayat 2, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga
negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu :
(a). Tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah dan   dalam gerakan pramuka.
(b). Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan kewiraan pada tingkat pendidikan tinggi.
a  Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam/Pangab.
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Pertahanan Keamanan/Pangab Nomor :
a  Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam
Skep bersama Nomor :  tanggal 1 Februari 1985 bahwa Pendidikan Kewiraan dimaksudkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada semua Perguruan Tinggi di Indonesia.
a  Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor : 267/DIKTI/KEP/2000, Tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Opendidikan Kewarganegaraan Pada Pergurtuan Tinggi
1.4. Maksud Dan Tujuan
a  MAKSUD : Pendidikan Kewiraan/kewarganegaraan dirancang dengan  maksud  upaya untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warganegara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Meningkatkan wawasan berfikir mahasiswa sebagai warganegara Indonesia, yang sadar akan dirinya yang mengemban misi pejuang pemikir-pemikir pejuang, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keamanan nasional. hidup bangsa dan negara demi terwujudnya aspirasi perjuangan nasional dengan tujuan untuk memupuk kesadaran Bela Negara.
Selanjutnya out-put yang diharapkan adalah terciptanya calon pemimpin nasional masa datang, dengan muatan kemampuan sebagai berikut :
  1. Mampu menghayati dan mengimplementasikan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
  2. Mampu memahami politik dan strategi Nasional serta mampu menyebarkan dan melaksanakan materi-materi GBHN sesuai dengan bidang profesinya.
  3. Mampu berperan serta dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta.
a  TUJUAN :
Pendidikan kewiraan/Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi bertujuan untuk :
  1. dapat memahami dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara santun [modesty], jujur [honesty] dan demokratis serta ikhlas [sincerely] sebagai warganegara terdidik dalah kehidupannya selaku warganegara Republik Indonesia yang bertanggung jawab.
  2. menguasai pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan penerapan pemikiran yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional secara kritis dan bertanggung jawab.
  3. memupuk sikap dan perilaku cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa.

1.5. KoMpetensi yang diharapkan:
K
ompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakaan cerdas, penuh tanggung jawab, yang harus dimiliki seorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi lulusan  pendidikan kewiraan/kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan cerdas[smart], penuh tanggungjawab seorang  dari seorang warga negara  dalam berhubungan dengan negara, dan memecahkan  berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan, menerapkan konsepsi Falsafah bangsa, wawasan Nusantara, dan Ketahanan nasional. Sifat cerdas yang dimaksud tampak pada kemahiran, ketepatan dan keberhasilan bertindak, sedangkan sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditilik dari nilai ilmu pengetahuan dan teknologi, etika ataupun kepatutan ajaran agama daan budaya.
Pendidikan Kewiraan/Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental bersifat cerdas, penuh tanggung jawab dari peserta didik dengan perilaku yang :
·    beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa
·    berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
·    bersikap professional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
·    aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan bangsa dan negara.
Melalui pendidikan kewiraan/kewarganegaraan, warganegara Republik Indonesia, diharapkan mampu : memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara bersinambungan dan konsisten dengan cita-cita  dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Pada saatnya dapat menghayati hakikat konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, patriotik dan cinta tanah air dalam melaksanakan profesinya.
Diharapkan melalui Pendidikan Kewiraan/kewarganegaraan mahasiswa akan menjadi manusia Indonesia seutuhnya, sehingga setelah menguasai ilmu pengetahuan teknologi  dan seni tidak kehilangan jatidirinya.
  1. Wawasan Nusantara :
Mengkaji cara pandang Bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya dalam rangka menentukan sikap Bangsa Indonesia demi kelangsungan hidup, keutuhan Bangsa dan Wilayahnya serta jati diri Bangsa, yang disebut Wawasan Nusantara dengan tujuan memahami, menghayati dan mampu menjelaskan pentingnya wawasan nasional bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
  1. Ketahanan Nasional :
Mengkaji konsepsi Bangsa Indonesia tentang upaya meningkatkan ketahanan bangsa yang meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa (ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, hamkam negara) dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatran dan gangguan demi kelangsungan hidup Bangsa dan Negara, yang disebut Ketahanan Nasional dengan tujuan agar dapat memahami, menghayati, mampu menjelaskan arti pentingnya Ketahanan Nasional, mampu menaplikasikan serta mengembangkannya dalam mencapai tujuan Nasional.
  1. Politik Strategi Nasional
Mengkaji masalah Kebijakan MPR dan Rencana Pelaksanaannya oleh Pemerintah dalam pengelolaan Negara, yang disebut Politik dan Strategi Nasional dengan tujuan agar dapat memahami dan menghayati Polstranas, mengetahui proses penyusunan Polstranas dan memahami pelaksanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB III

SISTEM PEMERINTAHAN

     Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.
     Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undanag-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan presidensial? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dibahas mengenai sistem pemerintahan.
I. Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah system pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
  1. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
  2. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
  3. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.
Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabile semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial.
a. Kabinet Presidensial
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial adalah Amarika Serikat dan Indonesia
b. Kabinet Ministrial
Kabinet ministrial adalah suatu kabinet yang dalam menjalankan kebijaksaan pemerintan, baik seorang menteri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seluruh anggota kebinet bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet ini adalah negara-negara di Eropa Barat.
Apabila dilihat dari cara pembentukannya, cabinet ministrial dapat dibagi menjadi dua, yaitu cabinet parlementer dan cabinet ekstraparlementer.
Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), cabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai.
Kabinet Ekstraparlementer adalah kebinet yang pembentukannya tidak memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara serta keadaan dalam parlemen/DPR
II. Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial
Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:
  1. sistem pemerintahan presidensial;
  2. sistem pemerintahan parlementer.
Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia.
Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer.
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
  1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
  2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
  3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
  4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
  5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
  6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.
Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut.
  1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
  2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
  3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
  5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
  6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:
  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
III. Pengaruh Sistem Pemerintahan Satu Negara Terhadap Negara-negara Lain.
      Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya.
     Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina. Dan contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlemen: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.
    Meskipun sama-sama menggunakan sistem presidensial atau parlementer, terdapat variasi-variasi disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Misalnya, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya, negara Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.
      Sistem pemerintahan suatu negara berguna bagi negara lain. Salah satu kegunaan penting sistem pemerintahan adalah sistem pemerintahan suatu negara menjadi dapat mengadakan perbandingan oleh negara lain. Suatu negara dapat mengadakan perbandingan sistem pemerintahan yang dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dilaksakan negara lain. Mereka bisa pula mengadopsi sistem pemerintahan negara lain sebagai sistem pemerintahan negara yang bersangkutan.
     Para pejabat negara, politisi, dan para anggota parlemen negara sering mengadakan kunjungan ke luar negeri atau antarnegara. Mereka melakukan pengamatan, pengkajian, perbandingan sistem pemerintahan negara yang dikunjungi dengan sistem pemerintahan negaranya. Seusai kunjungan para anggota parlemen tersebut memiliki pengetahuan dan wawasan yang semakin luas untuk dapat mengembangkan sistem pemerintahan negaranya.
    Pembangunan sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak lepas dari hasil mengadakan perbandingan sistem pemerintahan antarnegara. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme cheks and balance. Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat. Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu.
     Dengan demikian, sistem pemerintahan suatu negara dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau model yang dapat diadopsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara lain. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing telah mampu membuktikan diri sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer seara ideal. Sistem pemerintahan dari kedua negara tersebut selanjutnya banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia yang tentunya disesuaikan dengan negara yang bersangkutan.
IV. Sistem Pemerintahan Indonesia
a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan.
. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi
1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.
b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen
  Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsure-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)
Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
      Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.
     Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengwasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial.
    Dalam sistem pemerintahan negara republik, lebaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda.
     Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antarsistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama.




BAB IV
Pengertian Konstitusi
Konstitusi Negara bisa disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD), istilah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar (UUD) dua istilah yang terkait dengan norma atau ketentuan dasar dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer yang berarti membentuk, maksudnya pembentukan, penyusunan atau pernyataan akan suatu Negara. Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dua kata cume (bersama dengan) dan statuere (mendirikan, menetapkan sesuatu). Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda, gronwet ( gron : tanah atau dasar, wet : undang-undang). Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar, yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselengarakan dalam suatu masyarakat.
     Dari istilah di atas dapat disimpulkan bahwa konstitusi adalah kumpulan aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum yang mengatur kekuasaan pemerintah, rakyat, dan hubungan keduanya.
Tujuan dan Fungsi Konstitusi
    Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintahan, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat, sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya. Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi :
1.      Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2.      Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3.      Peradilan yang bebas dan mandiri.
4.      Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagi sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
    Keempat calupan di atas merupakan dasar utama bagi pemerintahan yang konstitusional. Namun, indikator negara atau pemerintahan disebut demokratis tidak tergantung pada konstitusinya, sekalipun konstitusinya menetapkan aturan dan prinsip-prinsip di atas, jika tidak dijalankan dalam praktik penyelengaraan tata pemerintahan, negara tersebut belum bisa dikatakan Negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi demokrasi.
Sejarah dan Perkembangan Konstitusi
      Konstitusi sudah lama dikenal sejak zaman Yunani, pada masa itu pemahaman tentang “konstitusi” hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Kekaisaran Roma pengertian konstitusi (constitutionnes) mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang
Selanjutnya pada abad VII (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam (622 M) merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah yang di huni oleh bermacam kelompok dan golongan: Yahudi, Kristen, Islam, dan lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban dalam hidup kemasyarakatan, dan mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial yang majemuk. Konstitusi Madinah merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang memuat materi sebagaimana layaknya konstitusi modernKonstitusi dalam model tertulis di pelopori oleh Amerika, kemudian diikuti oleh berbagai negara di eropa. Konstitusi sebagai UUD atau sering disebut “Konstitusi Modern” muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan, demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuh kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif) . Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU untuk mengurangi dan membatasi dominasi para raja, alasan inilah menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang posisinya lebih tinggi daripada raja.
Lahir konstitusi di Indonesia, Indonesia sebagai negara hukum memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dirancang pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945, disahkan dan ditetapkan oleh PPKI pada hari Sabtu 18 Agustus 1945. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebelum perubahan UUD 1945 alat kelengkapan negara dalam UUD 1945 adalah Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA, DPR, BPK, dan Kekuasaan Kehakiman. Setelah amandemen secara keseluruhan terhadap UUD 1945, reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan yang merupakan hasil dari proses amandemen UUD 1945 itu sendiri, mengkelompokan tugas pokok dan fungsi lembaga di kelompokan dalam kelembagaan sebagai bentuk dari pemisahan kekuasaan (trias politica) :
1.      Legislatif adalah badan pemerintah dengan kuasa membuat hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang, dalam ketatanegaraan Indonesia legislatif direpresentasikan pada 3 lembaga yakni MPR, DPR, DPD.
3.      Eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer. Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah. Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang undang yang dibuat oleh Legislatif dan aturan-aturan turunannya
4.      Yudikatif yakni badan yang mengawasi pelaksanaan undang-undang termasuk memberikan hukuman kepada warga masyarakat yang telah terbukti melanggar peraturan perundang-undangan. Cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dipahami mempunyai dua pintu, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
      Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga Negara. Dengan kata lain, Negara yang memilih demokrasi sebagai system ketatanegaraannya, maka kosntitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokrasi pula.
Setiap konstitusi yang digolongkan sebagai konstitusi demokrasi haruslah memiliki prinsip – prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara, yaitu :
1.      Menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan.
2.      Mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas.
3.      Adanya jaminan penghargaan terhadap hak – hak individu warga negara dan penduduk negara, sehingga dengan demikian entitas kolektif, tidak dengan sendirinya menghilangkan hak – hak dasar per orang.
4.      Pembatasan pemerintahan.
5.      Adanya jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah.
6.      Adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang bebas.
7.      Adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang independen.
8.      Pembatasan dan pemisahan kekuasaan yang meliputi:
1.      Pemisahan wewenang kekuasaan berdasarkan trias politica
2.      Kontrol dan keseimbangan lembaga – lembaga pemerintahan.
3.       
     Tata Negara dan praktik kehidupan kenegaraan mencerminkan suasana yang demokratis apabila konstitusi atau Undang - Undang Dasar (UUD) negara tersebut memuat rumusan tentang pengelolaan kenegaraan secara demokratis dan pengakuan hak asasi manusia, dengan kata lain merupakan peranti yang amat penting bagi sebuah negara demokrasi.
Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya batal demi hukum dan tidak bisa dilaksanakan.
Dengan adanya konstitusi dapat membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintahan, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.






BAB V

Pancasila dan Implementasi

      Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa dalam membuktikan jati dirinya sebagai bangsa merdeka. Berbagai bentuk perlawanan telah digulirkan, baik secara fisik, gerakan organisasi hingga membentuk sebuah landasan idiologi negara, Pancasila. Di tengah kontroversi apakah Pancasila merupakan sebuah idiologi atau sebagai bagian dari ilmu (falsafah ilmu); Pancasila menjadi acuan yang mendasar bagi keberadaan bangsa Indonesia.Bahkan sebagian umat Islam mempercayai bahwa Pancasila merupakan objektivikasi nilai-nilai Islam.
     Namun, apakah Pancasila dapat dijadikan pedoman untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di mata dunia atau malah membawa rakyat makin menjauhi cita-cita luhur bangsa ketika masih bersusah payah memperjuangkan kemerdekaan dan seterusnya.Bagi Bung Karno, Pancasila tak sekadar rumusan filsafat hasil kecerdasan si pencetus, tapi lebih dari itu merupakan weltschuung bangsa Indonesia. Ia merupakan hasil penggalian yang mendasar dari tradisi dan karakteristik sebuah bangsa.
     Karena itu, Bung Karno yakin, Pancasila merupakan philosofische groundslag yang tepat bagi negara RI dan mampu menjadi guiding principles bagi rakyat Indonesia dalam meraih cita-citanya.
    Kondisi Bangsa Indonesia saat ini ialah lemahnya nasionalisme; lemahnya SDM (sumber daya manusia); lunturnya disiplin; Pancasila teralineasi atau terasingkan; demokrasi cenderung menjadi tujuan; ambiguitas atau kedwiartian dalam pengaturan ekonomi yang menyimpang dari kepentingan nasional, moral dan budaya bangsa yang sedang sakit; postur kekuatan hankam yang memprihatinkan; hujatan terhadap TNI sebagai bagian dari Orde Baru, dll.
    Sebuah kenyataan yang memilukan ketika terdapat pemboman dan gerakan separatis di negeri ini. Pancasila sebagai falsafah negara ternyata tidak mampu menjadi sebuah jawaban dari penyelesaian permasalahan yang dibutuhkan. Pancasila tidak lagi berada di dada burung garuda yang gagah, melainkan burung merpati yang lemah.
Pancasila Teralienasi dalam Tubuh Negara dan Bangsa
      Pancasila saat ini berada dalam posisi pembahasan yang cukup tidak diminati, baik oleh media maupun siswa SD hingga perguruan tinggi. Berbeda halnya ketika zaman orde baru masih berkuasa. Bagaimana masyarakat betul-betul merasakan apa arti Pancasila –tidak lagi falsafah- melainkan sebagai idiologi negera. Bahkan organisasi hingga partai politik diharuskan mendasarkan Pancasila sebagai dasar institusinya.
     Pancasila kini menjadi bagian “sejarah pelengkap” hadirnya bangsa Indonesia, tidak lebih. Masyarakat dan negara tidak leagi mencoba untuk mengangkat Pancasila sebagai sebuah landasan negara dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mereka disibukkan pada permasalahan kontemporer dan mencoba mencari jawaban atas permasalahan namun tidak mencari dasar permasalahan.
    Sangat disayangkan bila Pancasila yang menjadi akar berdirinya bangsa Indonesia hanya menjadi penghias dalam buku dan legal formal dalam kurikulum pendidikan. Benar kiranya bahwa sejarah selalu diukir dan ditafsirkan oleh pemenang.
      Karena itu, bangsa Indonesia harus berani melakukan reideologisasi terhadap Pancasila. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui “idealisasi” sekaligus memperlakukannya sebagai “agama politik”, kiranya saat ini Pancasila harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa. Menjadi sebuah ideologi modus vivendi bagi keberagaman “primordialisme” masyarakat dan kemajemukan sistem pemikiran anak bangsa.
      Kedua, jika era ini diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berarti secara substantif dan ekspansif iptek mampu mengubah gaya hidup manusia, maka sejalan dengan perkembangan masyarakat ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari mitos ke logos, dari nasional ke trannasional, lalu ke global mondial. Pada titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan jati diri, jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara.
     Sehubungan dengan itu, dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif (Kuntowibisono, 1993), sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi dan reintepretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap kecenderungan zaman.
    Ketiga, gelombang keoptimisan proses transformasi masyaraka tradisional ke masyarakat modern, ternyata masih menyisakan “bom-bom” keresahan yang sewaktu-waktu meledak dan mematikan. Memang, fenomena modernitas menjanjikan kemudahan-kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan hedonisme diperbolehkan
Pertahanan dan Keamanan Negara
      Tidaklah mudah membangun wawasan berbasis Pancasila tentang sistem pertahanan keamanan negara di Indonesia saat ini, karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang berlaku dan mempengaruhi bangun pertahanan keamanan negara. Hal itu bisa dicermati pertama, dari sisi konseptual, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, di mana faktor-faktor itupun tidak dapat dipastikan secara tepat. Kedua, dari sisi legal konstitusional, apakah segenap payung peraturan perundang-undangan kita telah lengkap atau cukup untuk memberi payung kewenangan hukum, dimengerti dan memberi keterkaitan yang jelas antar pelaksana fungsi untuk memberikan akuntabilitas bagi implementasinya ? Sisi yang ketiga adalah          kondisi faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di tengah krisis nasional dan era reformasi, yang membuat kita perlu mengadakan evaluasi terhadap konsep pertahanan keamanan negara.
      Namun dari mana pun wawasan itu kita bangun dan kita formulasikan, tidak bisa tidak, titik tolak pandangan tetaplah harus bertumpu bahwa fungsi pertahanan keamanan negara adalah salah satu fungsi pemerintahan. Segenap upaya pertahanan keamanan negara beserta segenap upaya fungsi pemerintahan lainnya pada akhirnya diselenggarakan untuk mengabdi kepada kepentingan nasional.
        Dari sini dapat kita lihat bahwa Pancasila perlu diperkuat dengan instrumen-instrumen aturan perundangan yang memperjelas fungsi dan tugas aparat serta memuat kaidah-kaidah hukum. Agar pola dan strategi pertahanan dan keamanan tetap berada pada koridor kesatuan Republik Indonesia.
        Instrumen perundangan dan instrumen aparat harus mengacu pada landasan ideologi Pancasila. Bagaimana instrumen perundangan dan instrumen aparat mengamalkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab; dalam menjalankan tugas. Tidak melakukan tindakan-tindakan serta menjaga dari tindakan-tindakan bodoh yang dapat mengancam stabilitas sosial-hankam masyarakat.Serta bagaimana Pancasila mampu menjamin Hak Asasi Kemanusiaan berkaitan meskipun seseorang telah melakukan kesalahan. Menjadikannya sebuah landasan yang mampu menyentuh seluruh lini kehidupan dan sumber acuan terhadap seluruh kebijakan Negera Kesatuan Republik Indonesia



BAB VI

Demokrasi

     Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan) Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM
Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu.

Prinsip-prinsip demokrasi

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional; 
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas pokok demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Ciri-ciri pemerintahan demokratis

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat) Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).










BAB VII
Hak Asasi Manusia ( HAM )

     Pada tahun 1215 penanda tanganan Magna Charta dianggap sebagai perlindungan hak asasi manusia yang pertama, dalam kenyataanya isinya hanya memuat perlindungan hak kaum bangsawan dan kaum Gerejani sehingga Magna Charta bukan merupakan awal dari sejarah hak hak asasi manusia.

    Pada abad 18 perkembangan sejarah perlindungan hak-hak asasi manusia cukup pesat seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Perjuangan rakyat di Negara- negara tersebut sangan luar biasa dalam menghadapi kesewenang-wenangan para penguasanya.
Pertumbuhan ajaran demokrasi menjadikan sejarah perlindungan hak asasi manusia memiliki kaitan erat dengan usaha pembentukan tatanan Negara hukum yang demokratis. Pembatasan kekuasaan para penguasa dalam undang-undang termasuk konstitusi, Pemimpin suatu Negara harus melindungi hak yang melekat secara kodrati pada individu yang menjadi rakyatnya.

   Konvensi yang di tanda tangani oleh lima belas Dewan anggota Eropa di Roma, pada tanggal 4 Nopember 1950, mengakui pernyataan umum hak-hak asasi manusia yang diproklamasikan Sidang Umum PBB 10 Desember 1948, konvensi tersebut berisi antara lain, pertama hak setiap orang atas hidup dilindungi oleh undang-undang, kedua menghilangkan hak hidup orang tak bertentangan, dan ketiga hak setiap orang untuk tidak dikenakan siksaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat manusia.

   Menurut Myres Mc Dougal, yang mengembangkn suatu pendekatan tehadap hak asasi manusia yang sarat nilai dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada nilai luhur perlindungan terhdap martabat manusia. Tuntutan pemenuhan hak asasi manusia berasal dari pertukaran nilai-nilai intenasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan oleh tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan social, seperti rasa hormat, kekuasaan pencerahan, kesejahteraan, kesehatan, keterampilan, kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan oleh, nilai luhur martabat manusia.

    Menurut piagam PBB pasal 68 pada tahun 1946 telah terbentuk Komisi Hak-hak Manusia ( Commission on Human Rights ) beranggota 18 orang. Komisi inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia
( Universal Declaration of Human Rights ) yang dinyatakan diterima baik oleh sidang Umum PBB di Paris pada tanggal 10 Desember 1948.
Sedangkan di Indonesia Hak – hak Asasi Manusia, tercantum dalam UUD 45 yang tertuang dalam pembukaan, pasal-pasal dan penjelasan, Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sebagai konsekuensinya penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan peri keadilan.

    Kesadaran dunia international untuk melahirkan DEklarasi Universal tahun 1948 di Paris, yang memuat salah satu tujuannya adalah menggalakkan dan mendorong penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahaswa atau agama (pasal 1). Pasal tersebut diperkuat oleh ketetapan bunyi pasal 55 dan pasal 56 tentang kerja sama Ekonomi dan Sosial International, yang mengakui hak-hak universal HAM dan ikrar bersama-sama Negara-negara anggota untuk kerja sama dengan PBB untuk tujuan tersebut. Organ-organ PBB yang lebih banyak berkiprah dalam memperjuangkan HAM di antaranya yang menonjol adalah Majelis Umum, Dewan ECOSOC, CHR, Komisi tentang Status Wanita, UNESCO dan ILO.

    Hak Asasi Manusia merupakan suatu bentuk dari hikum alami bagi umat manusia, yakni terdapanya sejulah aturan yang dapat mendisiplinkan dan menilai tingkah laku kita. Konsep ini disarikan dari berbagai ideology dan filsafat, ajaran agama dan pandangan dunia, dan terlambang dengan negara-negara itu dalam suatu kode perilaku internasional. Dengan demikian, konsep hak asasi tidak lain adalah komitmen bangas-bangsa di dunia tentang pentingnya penghormatan terhadap sesamanya. Doktrin hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap hokum dan masyarkat internasional. Pengaruh tersebut secara khusu tampak dalam bidang :
1. Prinsip resiprositas versus tuntutan-tuntutan masyarkat,
2. Rakyat dan individu sebagai wrga masyarakat internasional
3. Hak-hak asasi manusia dan hak asasi orang asing.
4. Tehnik menciptakan standar hokum internasional.
5. Pengawasan internasional,
6. Pertanggungjwaban internasional, dan
7. Hukum perang.

    Dalam perkembangannya hak hak asasi manuia diperlambat oleh sejumlah kekuatan yang menentangnya. Diantara kekuatan-kekuatan tersebut rezim pemerintahan yang otoriter dan struktur pemerintahan yang sewenang-wenang dan serba mencakup merupakan kekuatan penentang yang paling besar pengaruhnya terhadap laju perkembangan perlindungan hak-hak asasi manusia. Terdapat tiga masalah yang menghambat perkembangan hak-hak asasi manusia, yaitu :
1. Negara menjadi penjamin penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
2. Kedua merupakan bagian dari tatanan Negara modern yang sentrlistik dan birokratis.
3. Merujuk pada sejarah khas bangsa-bangsa barat, sosialis dan Negara-negar dunia ketiga.






BAB VIII
GOOD GOVERNACE
     Mewujudkan good govermance bukan suatu hal yang mudah, apalagi kita berhadapan dengan persaingan global yang mendesak kita kepinggir.Maka good governance merupakan suatu keharusan bagi kita yang sudah masuk dalam komunitas global.
Birokrasi merupakan instrumen yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menjadi katalisator prakarsa dengan potensi yang dimiliki oleh swasta dan masyarakat
    permasalahannya, Bagaimana manajemen kinerja yang efesien dan efektif dalam mewujudkan good governance ?
     Manajemen sebagai proses penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam rangka penerapan tujuan dan sebagai kemampuan atau keterampilan orang yang menduduki jabatan manajerial untuk memperoleh sesuatu dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain (Sondang P. Siagian, 2004)
Sedangkan kinerja “to performance” dan diartikan sebagai berikut :
  • To do or carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan);
  • To discharge or fulfill; as a vow (memenuhi atau menjalankan kewajiban atau nazar);
  • To portray, as a character in a play (mengambarkan suatu karakter dalam suatu permainan);
  • To render by the voice or a musical instrument (mengambarkannya dengan dengan suatu alat musik);
  • To execute or complete an undertaking (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab);
  • To act a part in a play (melaksanakan suatu kegiatan dalam suatu permainan);
  • To perform music (memainkan / pertunjukan musik);
  • To do what is expected of a person or maching (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh sesuatu mesin).
     Manajemen kinerja juga merupakan instrument untuk mendapatkan hasil-hasil yang lebih baik dari organisasi, tim dan para individu dengan mengelola kinerja sesuai dengan tujuan, sasaran dan standar yang telah disepakati bersama
      Adapun pengertian good governance berarti proses pengelolaan dengan melibatkan stakeholder secara luas pada berbagai kegiatan perekonomian dan sosial politik dan pada pemanfaatan beragam sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan dan manusia bagi kepentingan rakyat banyak yang dilaksanakan dengan menganut azaz- azaz keadilan, pemerataan, pemersamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
(word conference on governance, 1999).
Manajemen Kinerja Sebagai Suatu Sistem
    Sebagai proses komunikasi yang berkelanjut antara atasan dan bawahan untuk memperjelas dan menyepakati fungsi pokok pekerjaan bawahan dan pelaksanaannya guna berkontribusi mencapai tujuan organisasi, Untuk itu, manajemen kinerja memiliki lima komponen sebagai berikut :
  1. Perencanaan kerja dimana atasan dan bawahan berupaya merumuskan, memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka mengoptimalkan kontribusinya terhadap mencapaian tujuan-tujuan organisasi;
  2. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, serta guna mengantisipasi segala persoalan yang mungkin timbul;
  3. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya jawab denga pihak-pihak terkait;
  4. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan untu mengkaji bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi, didiskusikan dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada priode tertentu;
  5. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan untuk menyingkirkan hambatan-ambatan tadi guna meningkatkan kinerja bawahan.


Manajemen kinerja efektif hendaknya memenuhi syarat syarat berikut :
  1. Relevance, hal hal atau factor- factor yang diukur adalah yang relevan (terkait dengan pekerjaannya, apakah itu “output-nya, prosesnya atau input-nya”;
  2. Sensitivity, system yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara karyawan yang “berprestasi” dan “tidak berprestasi”;
  3. Reliability, system yang digunakan harus dapat diandallkan, dipercaya bahwa mengunakan tolok ukur yang objektif, shaheh, akurat, konsisten dan stabil;
  4. Acceptability, system yang digunakan harus dapat dimengerti dan diterima oleh karyawan yang menjadi penilai ataupun yang dinilai dan memfasilitasi, komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya;
  5. Practicality, semua instrument, misalnya formulir yang digunakan harus mudah digunakan oleh kedua pihak, tidak rumit dan berbelit belit.
Mewujudkan manajemen kinerja yang efektif dan efesien dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah:
  1. Membangun perangkat kelembagaan
  2. Membangun ketatalaksanaan
  3. Membangun birokrasi dari dimensi keuangan dan peralatan
Maka dalam mewujudkan hubungan sinergis dan konstruktif antara pemerintah, swasta dan masyarakat, ada sembilan prinsip good governance sebagai berikut :
  1. Participation, yaitu setiap warga Negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui inter mediasi institusi ligitimasi yang mewakili kepentingannya;
  2. Rule of law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk Hak Asasi Manusia;
  3. Transparancy, dibangun atas dasar kebebasan arus informasi, proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan;
  4. Responsiveness, lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders;
  5. Consensus orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur;
  6. Equity, semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka;
  7. Efektiviness dan efisiency, proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin;
  8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan sector swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi;
  9. Strategic vision, para pemimpin dan public harus mempunyai persfektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
Disamping beberapa aspek yang telah disebutkan diatas beberapa hal yang patut mendapat perhatian diantaranya :
  1. Pemerintah lebih memusatkan perhatian kepada upaya pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksana langsung pekerjaan public;
  2. Pemerintah lebih mendorong kompetisi antar pemberi jasa;
  3. Adanya pengawasan dari masyarakat atas birokrasi;
  4. Mengukur kinerja dengan memusatkan pada hasil bkan pada masukan;
  5. Manajemen digerakkan oleh tujuan (misi) bukan oleh ketentuan dan peraturan;
  6. Meninjau kembali status masyarakat sebagai objek pembangunan dengan menawarkan kepada mereka banyak pilihan baik secara kuantitas maupun kualitas;
  7. Berusaha mencegah masalah sebelum muncul;
  8. Berusaha untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya;
  9. Melaksanakan manajemen partisipatif dalam birokrasi;
  10. Lebih menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi.
Dari paparan diatas bagaimana manajemen kinerja birokrasi yang efektif dan efesien dalam mewujudkan good governance dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Tata pemerintahan yang baik (good governance) pada intinya adalah pemerintah yang memperdayakan masyarakat dan dunia usaha melalui palayanan publik yang bermutu;
  2. Bagi negara kita, yang mewarisi tradisi birokrasi neo patrimonial, usaha mewujudkan good governance memerlukan proses transformasi birokrasi. Transformasi ini tidak hanya sedekar perubahan srtuktural dan instrumental tetapi lebih penting perubahan kultural;
  3. Sumber daya manusia aparatur merupakan sentral dari system administrasi. Oleh sebab itu manajemen kinerja birokrasi harus dapat lebih efesien dan efektif;


        PengertianIdentitasNasional
Identitas Nasional pada hakikatnya merupakan "manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hldup dan kehidupannya".(Wibisono Koento : 2005) Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok. Adapun kata nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik, seperti budaya, agama, dan bahasa, maupun nonfisik, seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan. Himpunan kelompok-kelompok inilah yang disebut dengan istilah identitas bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan kelompok (colective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep nasionalisme. Bila dilihat dalam konteks Indonesia maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang "dihimpun" dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan roh "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai dasar dan arah pengembangannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa hakikat Identitas Nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam penataan kehidupan dalam arti luas. Misalnya, dalam aturan perundang-undangan atau hukum, sistem pemerintahan yang diharapkan, serta dalam nilai-nilai etik dan moral yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam Identitas Nasional tersebut bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang "terbuka" yang cenderung terus-menerus bersemi karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah bahwa Identitas Nasional adalah sesuatu yang terbuka untuk ditafsirkan dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar